Beranda | Artikel
Bpk. QURAIS SHIHAB HANYA MENGEKOR (Jilbab Tidak Wajib bag 2)
Sabtu, 6 September 2014

          Fatwa Bpk.Qurais Shihab -semoga Allah mengembalikan beliau ke jalan yang lurus- akan tidak wajibnya jilbab, bukanlah produk beliau pribadi, akan tetapi pada hakekatnya hanyalah bentuk mengekor kepada salah seorang da’i liberal dari Mesir yang bernama Muhammad Sa’id Al-‘Asymawi yang telah menulis sebuah kitab yang berjudul “Haqiqot Al-Hijaab wa Hujjiyatul Hadits”. Buku inilah yang menjadi pegangan dan menjadi bahan penukilan oleh Bpk Quraish Shihab dalam menelurkan fatwanya akan tidak wajibnya jibab !!!.

Padahal banyak sekali fatwa nyeleneh dari Muhammad Sa’id Al-‘Asymawi yang menunjukkan ia adalah seorang dari liberal dan sekuler. Diantaranya adalah :

– Al-‘Asymawi menganggap bahwa Yahudi dan Nashoro juga selamat di akhirat meskipun mereka tidak masuk dalam agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam (Lihat perkataan Al-‘Asymawi dalam kitabnya Jauhar Al-Islaam hal 110-112, dan 124)

– Seluruh hukum yang diterapkan dalam undang-undang negara Mesir sesuai dengan syari’at Islam (lihat perkataan beliau di kitab Al-Islaam As-Siyaasi hal 51 dan kitab “Hiwaar Haula Qodhooyaa Islaamiyah” hal 188)

– Tidak ada hukum had bagi peminum khomer, bahkan penegakan hukum had terhadap peminum khomer hanyalah menambah bentuk kriminal (lihat Al-Islaam As-Siyaasi hal 51 dan kitab “Hiwaar Haula Qodhooyaa Islaamiyah” hal 191)

– Tidak ada hukum had bagi orang yang murtad

– Hukum had bagi pezina hanya boleh ditegakan jika dikehendaki oleh sang pezina (lihat Haqiqotul Hijaab hal 19)

– Al-‘Asymawi telah menuduh Abu Bakr As-Shiddiiq radhiallahu ‘anhu sebagai diktator yang telah merampas hak Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam, dimana Abu Bakar bersikeras untuk memaksa mengeluarkan zakat dan memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat

– Ia juga mencela Utsman dengan berkata “Di zaman Utsman telah terjadi kerusakan besar”, ia juga berkata, “Kerusakan yang terjadi di masa Utsman juga berlanjut hingga zaman Ali bin Abi Tholib”

– Ia juga menuduh tujuan para sahabat adalah kerajaan dan kekuasaan

– Ia juga membolehkan riba dengan mengatakan : “Bunga Bank bukanlah riba”

– Tidak boleh memaksa seorang wanita untuk memakai jilbab, yang memaksa telah berdosa (lihat Haqiqotul Hijaab hal 19), karena hijab yang sesungguhnya adalah menahan hawa nafsu dari syahwat serta menahan diri dari dosa-dosa tanpa ada kaitannya dengan pakaian tertentu atau pakaian khusus (yaitu tanpa harus berjilbab) (lihat Haqiqotul Hijaab hal 20)

          Dan masih banyak penyimpangan-penyimpangan dia yang lain, yang menunjukkan bahwa Al-‘Asyami benar-benar seorang pemikir Liberal. Lantas apakah orang seperti ini dianggap ulama oleh Bpk. Quraish Shihab?, lalu menjadikan fatwanya yang nyeleneh tentang jilbab sebagai rujukan utama dalam menghalalkan penanggalan jilbab??!

        

          Diantara hasil interpretasi yang diberikan oleh Bpk Quraish tentang batasan-batasan aurat dan juga terkait dengan jilbab adalah:

Pertama, dalil berkenaan tentang batasan-batasan aurat yang bersumber dari al-Quran dan hadits bersifat zhan bukan qath’i karena menurutnya seandainya ada hukum yang pasti dari kedua sumber tersebut yaitu Alquran dan hadits tentu mereka tidak berbeda pendapat dan juga tidak menggunakan nalar mereka dalam memahami dalil tersebut. Sedangkan pendapat manusia tidak bersifat mutlak kebenarannya karena yang mutlak kebenarannya hanya dari Allah. Hal ini persis sebagaimana yang dikatakan oleh Al-‘Asymawi dalam kitabnya Haqiqotul Hijaab hal 18

Kedua, hadis yang dipakai dalam menentukan batasan-batasan yang bersumber dari ‘Aisyah tidak mencapai derajat mutawattir hanya sampai pada derajat hadis ahad dan para ulama masih memperselisihkan kualitas hadis tersebut. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Al-‘Asymawi dalam kitabnya Haqiqotul Hijaab hal 18

Ketiga, wanita yang menutup seluruh badannya dan yang mengecualikan wajah dan telapak tangan mereka telah menjalankan perintah ayat-ayat yang menerangkan tentang hijab dan jilbab. Adapun bagi mereka yang tidak memakai kerudung atau jilbab atau membuka setengah tangannya, jangan menuduh mereka secara pasti telah melanggar petunjuk agama (M. Quraish Shihab, Wawasan al Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Berbagai Persoalan Umat, op. cit., h.179.) karena Alquran tidak secara tegas menentukan batasan aurat dan para ulama pun berbeda pendapat tentang masalah tersebut dan juga pendapat ulama tersebut mereka kemukakan dalam konteks situasi zaman serta pertimbangan nalar mereka.

Hal ini sama persis yang diucapkan oleh Al-‘Asymawi dalam kitabnya hal 20, ia berkata :

وهو أدنى إلى أن يكون أمرا وقتيا يتعلق بظروف العصر لتمييز المؤمنات عن غيرهن

“Dan hukumnya lebih dekat kepada perkara yang berwaktu/temporal/sementara yang berkaitan dengan situasi zaman pada masa tersebut dalam rangka untuk membedakan antara para wanita mukminah dengan yang lainnya”

Berkaitan dengan firman Allah :

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (٥٩)

Hai Nabi, Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-Ahzaab : 59)

Al-‘Asymawi berkata, “Adapun latar belakang turunnya ayat tersebut di atas adalah bahwa adat wanita-wanita Arab tatkala turun ayat ini adalah membuka wajah mereka sebagaimana para budak. Dan mereka buang hajat (buang air) di tanah lapang, sebelum adanya jamban di rumah-rumah. Ada sebagian orang-orang fajir yang mengganggu mereka karena menyangka bahwa mereka adalah budak-budak wanita, dan bukan wanita-wanita merdeka. Mereka lalu mengadukan hal ini kepada Rasullulah shalallahu ‘alaihi wasallam. Karenanya turunlah ayat ini untuk meletakkan pembeda antara wanita merdeka dengan budak wanita. Pembeda tersebut adalah para wanita merdeka hendaknya menjulurkan/menurunkan jilbab agar mereka bisa terbedakan dan tidak diganggu oleh orang fajir” (Haqiqotul Hijaab wa Hujjiatul Hadits hal 16)

Setelah itu Al-‘Asymawi berkata :

 “Dan jika kaidah dalam ilmu ushul al-fiqh menyatakan bahwa hukum itu ada dan tidaknya berputar bersama ‘illah-nya, jika ada hukum maka ‘iilah-nya juga ada, dan jika ‘illah-nya tidak ada maka hilang (terangkatlah) juga hukum. Jika kaidahnya demikian maka sesungguhnya ‘illah dari hukum yang tersebut dalam ayat -yaitu untuk membedakan antara para wanita merdeka dengan para budak wanita- telah hilang, karena di zaman ini sudah tidak ada lagi para budak wanita, dan hilang juga keharusan mengadakan pembeda antara para wanita merdeka dengan para budak wanita. Demikian juga para wanita mukminah tidak lagi keluar menuju tanah lapang untuk buang hajat dan tidak ada lagi gangguan para lelaki terhadap mereka. Dan hasil dari hilangnya ‘illah suatu hukum maka hukum itu sendiri ikut hilang maka tidak wajib untuk diterapkan secara syari’at” (Haqiqotul Hijaam wa Hujjiyatul Hadits hal 17).

Inilah pendalilan Al-‘Asymawi untuk melegalkan penanggalan jilbab, sehingga ia berkesimpulan bahwa jilbab tidak lagi wajib untuk diterapkan karena hilangnya atau tidak adanya ‘illah (sebab) disyari’atkannya jilbab tatkala di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

          Menurut M. Quraish Shihab juga, ayat di atas sebenarnya tidak memerintahkan wanita Muslimah memakai jilbab, karena agaknya ketika itu sebagian mereka telah memakainya, hanya saja cara memakainya belum mendukung apa yang dikehendaki ayat ini. Kalau diperoleh dari redaksi ayat di atas menyatakan jilbab mereka dan yang diperintahkan adalah “Hendaklah mereka mengulurkannya”. Ini berarti mereka telah memakai jilbab tetapi belum lagi mengulurkannya. (M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Cet. IV, Vol. II, h. 320)

Hal ini persis dengan pernyataan Al-‘Asymawi, ia berkata :

“Di zaman turunnya al-Qur’an, khimar (kerudung) secara tradisi (‘urf), berdasarkan konsekuensinya para wanita meletakkan penutup di atas kepala mereka dan menjulurkannya di belakang punggung mereka sehingga dada mereka masih nampak. Dari situ turunlah Al-Qur’an untuk merubah tradisi ini, dimana para kaum mukminah menjulurkan khimar (kerudung) mereka di bagian depan mereka agar menyembunyikan dada mereka sehingga terbedakan antara mereka dengan selain kaum mukminah” (Haqiqotul Hijaab hal 20)

          Diakhir pembahasan tentang jilbab Bpk Quraish berpesan bahwa:

((Kehati-hatian dibutuhkan, karena pakaian lahir dapat menyiksa pemakainya sendiri apabila ia tidak sesuai dengan bentuk badan si pemakai. Demikian pun batin. Apabila tidak sesuai dengan jati diri manusia, sebagai hamba Allah. tentu saja Allah yang paling mengetahui ukuran dan patron terbaik bagi manusia)). (M. Quraish Shihab, Wawasan al Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Berbagai Persoalan Umat, op. cit., h.32.)

          Buku Haqiqotul Hijab yang ditulis oleh Pemikir Liberal Muhammad bin Sa’id Al-Asymawi yang dijadikan rujukan utama oleh Bpk. Quraish Shihab, alhamdulillah telah dibantah oleh banyak ulama. Diantaranya dibantah oleh DR Muhammad Sayyid Thonthowi Mufti Mesir dalam kitabnya yang berjudul : “Bal Al-Hijaab Fariidhotul Islaam” yang artinya : “Bahkan Hijab merupakan kewajiban dalam Islam”

Diantara hal utama yang menyebabkan Bpk Quraish Shihab memandang jilbab tidak wajib adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Asymawi, bahwa sebab nuzul turunnya ayatul hijab adalah karena untuk membedakan wanita merdeka dengan para budak wanita, maka para wanita merdeka diperintahkan untuk memakai jilbab. Dan di zaman sekarang ini para budak wanita tidak ada, maka kewajiban tersebut tidak perlu lagi. Jadi kewajiban jilbab tatkala diturunkan bersifat muaqqot/temporal/sementara. Jika ‘illahnya ada maka ada kewajiban, dan jika ‘illahnya telah tidak ada (yaitu dengan tiadanya para budak wanita) maka terangkat pula hukumnya !!

 
Sanggahan

          Alhamdulillah banyak ulama yang telah membantah pemikiran Al-Asymawi, sebagaimana pula banyak da’i di tanah air kita yang telah menjelaskan kerancuan berfikir Bpk Quraish Shihab dalam permasalahan jilbab. Penulis hanya merangkum dan meringkas apa yang telah ditulis oleh para ulama dan para da’i tersebut dalam poin-poin sanggahan berikut ini :

Pertama : Tidak seorang ulamapun yang menjadikan sebab Nuzul yang disebutkan oleh Bpk Quraish Shihab sebagai acuan untuk menentukan illah sebagaimana yang dipahami oleh Bpk Quraish Shihab. Yaitu ‘illah turunnya ayat ini hanyalah mua’qqot (bersifat sementara/temporal) dan tidak selamanya, yaitu hingga terbedakan antara para wanita merdeka dengan para budak wanita. Jika ternyata hilang ‘illah ini, dimana sudah tidak ada lagi budak wanita maka boleh bagi para wanita merdeka untuk membuka jilbabnya. Adapun Al-Asymawi yang diekori oleh Bpk Quraish Shihab bukanlah ulama akan tetapi pemikir yang beraliran liberal.

Jika pendapat para pemikir liberal dijadikan patokan dan dalih untuk menentukan suatu hukum, maka sungguh akan rusak agama ini, dan terlalu banyak perkara-perkara yang telah disepakati oleh para ulama akan dirusak dan dikatakan dengan mudahnya, “Ada khilaf diantara para ulama?”

Maka dengan mudah untuk dikatakan, “Masalah kaum yahudi dan nashrani masuk neraka ada khilaf diantara para ulama”, “Masalah boleh nikah sejenis ada khilaf diantara para ulama”, “masalah boleh wanita menari seksi dan menjadi tontonan masyarakat ada khilaf diantara para ulama”, dan seterusnya

 
Kedua : Meskipun banyak ahli tafsir yang menyebutkan sebab nuzul ayat adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Bpk Quraish Shihab, akan tetapi :

Pertama : Jika ditinjau secara ilmu hadits maka sanad dari sebab nuzul ini adalah dho’if (lemah).

Jika ternyata sanadnya lemah maka bagaimana bisa dijadikan sebab nuzul ini sebagai ‘illah yang qoth’i?, bukankah Bpk Quraish Shihab menyatakan jilbab tidak wajib dikarenakan dalil pewajibannya tidak qoth’i?, lantas kenapa Bpk Quraish berdalil dengan kisah asbabun nuzul yang statusnya tidak valid bahkan?

Kedua : Para ulama menyebutkan bahwa sebab turunnya ayat hijab yang berdasarkan riwayat-riwayat ada beberapa sebab. Dan kesimpulan dari sebab-sebab tersebut menunjukkan tujuan utama dari diturunkannya jilbab adalah menjaga kehormatan para wanita

Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Baari :

…أن سبب نزولها قصة زينب بنت جحش لما أولم عليها وتأخر النفر الثلاثة في البيت واستحيا النبي صلى الله عليه وسلم أن يأمرهم بالخروج فنزلت آية الحجاب، وسيأتي أيضا حديث عمر ” قلت: يا رسول الله إن نساءك يدخلن عليهن البر والفاجر، فلو أمرتهن أن يحتجبن، فنزلت آية الحجاب”، وروى ابن جرير في تفسيره من طريق مجاهد قال: بينا النبي صلى الله عليه وسلم – ومعه بعض أصحابه وعائشة تأكل معهم إذ أصابت يد رجل منهم يدها، فكره النبي صلى الله عليه وسلم ذلك فنزلت آية الحجاب. وطريق الجمع بينها أن أسباب نزول الحجاب تعددت، وكانت قصة زينب آخرها للنص على قصتها في الآية، والمراد بآية الحجاب في بعضها قوله تعالى :{يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ}

“…bahwasanya sebab nuzul ayatul hijaab adalah kisah Zinab binti Jahsy tatkala dibuatkan walimah dan terlambatlah tiga orang di rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sementara Nabi malu untuk memerintahkan mereka keluar dari rumah, maka turunlah ayat hijaab….dan hadits Umar beliau berkata, “Wahai Rasulullah sesungguhnya istri-istri Anda ditemui oleh orang yang baik dan orang yang fajir, bagaimana kalau engkau memerintahkan mereka untuk berhijab”. Maka turunlah ayat hijab. Dan Ibnu Jarir meriwayatkan dalam tafsirnya melalui jalan Mujahid, ia berkata, “Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersama sebagian sahabatnya, dan Aisyah makan bersama mereka, ternyata sebagian tangan sahabat tersentuh tangan Aisyah, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membenci hal tersebut, maka turunlah ayatul hijaab.

Maka cara mengkompromikan diantara sebab-sebab nuzul ini adalah bahwasanya asbab nuzul ayat al-hijaab itu berbilang (bukan hanya satu sebab, dan kisah Zainab adalah sebab yang terakhir karena kisah tersebut disebutkan dalam ayat. Dan yang dimaksud dengan ayat al-hijaab yaitu pada sebagian ayat ada firman Allah {يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ} “Hendaknya mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”(Fathul Baari 1/249)

Maka jika kita hendak menjadikan salah satu sebab nuzul sebagai ‘illah hukum wajibnya jilbab, maka sebab nuzul manakah yang menjadi patokan?, sementara sebab nuzulnya berbilang?

Ketiga : Istilah asbab an Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat Alquran), dalam tradisi Ulama Islam tidak dimaksudkan untuk menggambarkan hubungan sebab-akibat (kausalitas), yang berarti kalau peristiwa itu tidak turun, maka ayatnya tidak turun. Tapi lebih berperan sebagai peristiwa yang mengiringi turunnya ayat. Selain itu, mengkhususkan lafal ayat Al-Quran hanya berlaku pada kasus tertentu, tidak bersifat umum, berarti menzalimi lafal itu sendiri. Sebab nuzul itu ibarat hikmah diturunkannya suatu hukum bukan ‘illah hukum. Karenanya bisa jadi satu hukum memiliki beberapa hikmah.

 
Ketiga : ‘Illah yang dipahami oleh Bpk Qurais Shihab bertentangan dengan pemahaman dari hadits-hadits yang shahih. Diantaranya :

Pertama : Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang hasan

عن ثابت عن أنس أن النبي صلى الله عليه وسلم أتى فاطمة بعبد كان قد وهبه لها قال وعلى فاطمة رضي الله عنها ثوب إذا قنعت به رأسها لم يبلغ رجليها وإذا غطت به رجليها لم يبلغ رأسها فلما رأى النبي صلى الله عليه وسلم ما تلقى قال إنه ليس عليك بأس إنما هو أبوك وغلامك

dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alahi wasallam datang membawa budak untuk dihadiahkan kepada Fathimah radhiallahu ‘anhaa. Dan Fathimah sedang memakai kain/baju yang ia gunakan untuk menutupi kepalanya akan tetapi baju tersebut tidak sampai menutupi kedua kakinya. Dan jika ia menutup kedua kakinya dengan kain tersebut maka tidak sampai menutupi kepalanya. Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat hal tersebut maka Nabi shallallahu ‘alihi wasallam berkata :, “Tidak mengapa demikian, sesungguhnya bersamamu ayahmu dan budakmu” (HR Abu Dawud 4106 , lihat As-Shahihah karya Al-Albani no 2868)

Hadits ini menunjukkan bahwa meskipun Fathimah radhiallahu ‘anhaa telah diketahui sebagai putri Nabi shallallahu ‘alaiahi wasallam, dikenal juga sebagai wanita merdeka, terlebih lagi kondisinya di dalam rumah, meskipun demikian Fathimah tetap saja berjilbab dan menutup kepalanya. Kalau seandainya ‘illah atau sebab diwajibkannya jilbab adalah untuk membedakan antara wanita merdeka dan para budak wanita maka seharusnya Fathimah tidak perlu memakai jilbab, karena Fathimah tidak sedang bersama seorang budak wanitapun, dan Fathimah sudah diketahui sebagai putri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, selain itu tidak ada seorangpun yang dikawatirkan akan menggangunya, toh ada ayahnya bersamanya yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam, selain itu Fathimah berada dalam rumah bukan di luar rumah.

Ini semua menunjukkan bahwa ‘illah atau sebab yang disebutkan oleh Bpk Quraish Shihab tidaklah benar.

Kedua : Rasulullah bersabda :

لا تباشر المرأةُ المرأةَ فتنعتَها لزوجها كأنه ينظر إليها

“Janganlah seorang wanita bertemu dengan wanita yang lain lalu ia menyebutkan sifat wanita yang lain tersebut kepada suaminya, sehingga seakan-akan suaminya melihat wanita lain tersebut” (HR Al-Bukhari)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang seorang wanita menyebutkan sifat-sifat seorang wanita merdeka secara mutlak, apakah di zaman ada para budak wanita ataukah tidak ada. Pelarangan ini agar sang suami tidak terfitnah dengan wanita yang disifati tersebut.  Apabila ternyata wanita merdeka tersebut tidak berjilbab maka tentu lebih mudah untuk dilihat dan menimbulkan fitnah. Jika diceritakan sifat-sifatnya saja dilarang oleh Nabi, maka bagaimana lagi jika dilihat langsung?

 
Keempat : Bisa saja ayat Al-Qur’an turun karena sebab tertentu, kemudian hukumnya tetap berlaku meskipun sebabnya telah hilang. Sebagaimana hukum mengqoshor sholat, meskipun ‘illahnya adalah ketakutan, namun setelah hilangnya ketakutan tetap saja hukum mengqoshor sholat tatkala safar tetap berlaku

عن يعلى بن أمية قال قلت لعمر بن الخطاب ( ليس عليكم جناح أن تقصروا من الصلاة إن خفتم أن يفتنكم الذين كفروا) فقد أمن الناس فقال عجبت مما عجبت منه فسألت رسول الله -صلى الله عليه وسلم- عن ذلك. فقال « صدقة تصدق الله بها عليكم فاقبلوا صدقته ».

Dari Ya’la bin Umayyah ia berkata, “Aku berkata kepada Umar, “Firman Allah

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا

Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sholat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.  (AS An-Nisaa : 101)

Orang-orang sudah dalam keadaan aman (lantas kenapa masih disyari’atkan mengqoshor sholat dalam safar)?

Umar berkata, “Aku juga heran sebagaimana keherananmu, maka akupun bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang hal tersebut maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Sedekah yang disedekahkan oleh Allah bagi kalian, maka terimalah sedekahNya” (HR Muslim no 1605)

          Demikian juga permasalahan roml (berjalan cepat/berlari-lari kecil) dalam thowaf

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhumaa berkata :

قَدِمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابُهُ فَقَالَ الْمُشْرِكُونَ إِنَّهُ يَقْدَمُ عَلَيْكُمْ وَقَدْ (وَفْدٌ) وَهَنَهُمْ حُمَّى يَثْرِبَ فَأَمَرَهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَرْمُلُوا الْأَشْوَاطَ الثَّلَاثَةَ وَأَنْ يَمْشُوا مَا بَيْنَ الرُّكْنَيْنِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya datang ke Mekah, maka kaum musyrikin berkata, “Sungguh telah datang kepada kalian suatu utusan yang telah dilemahkan oleh demam kota Yatsrib (kota Madinah)”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan para sahabat untuk melakukan roml pada tiga putaran pertama thowaf, dan mereka berjalan antara rukun yamani dan rukun hajar aswad” (HR Al-Bukhari no 1602)

Ibnu Batthool rahimahullah berkata,

وذكر ابن عباس فى حديث هذا الباب علة السعى فى الطواف بالبيت … وأن النبى عليه السلام فعله لُيِرىَ المشركين قوته ؛ لأنهم قالوا : إن حُمَّى يثرب أنهكتهم ، فكان عليه السلام يرمل فى طوافه بالبيت مقابل المسجد ومقابل السوق موضع جلوسهم وأنديتهم ، فإذا توارى عنهم مشى ، ذكره أهل السير …

فالسنة التزام الخبّ فى الثلاثة أشواط فى الطواف بالبيت ، تبركًا بفعله عليه السلام وسنته ، وإن كانت العلة قد ارتفعت فذلك من تعظيم شعائر الله

“Dalam hadits ini, Ibnu Abbas menyebutkan ‘illah putaran thowaf…bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya untuk menunjukkan kepada kaum musyrikin kekuatan para sahabat, karena kaum musyrikin berkata, “Sesungguhnya demam kota Yatsrib telah menjadikan mereka lemah”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan roml di ka’bah berhadapan dengan masjid dan berhadapan dengan pasar tempat nongkrong dan berkumpulnya kaum musyrikin. Jika Nabi tidak kelihatan oleh mereka maka Nabipun berjalan, sebagaimana disebutkan oleh para ahli sejarah….

Maka sunnah adalah tetap melakukan roml pada tiga putaran pertama dalam thowaf di ka’bah karena bertabarruk/mencari keberkahan dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meskipun ‘illahnya telah hilang, dan hal ini termasuk dari pengagungan syi’ar-syi’ar Allah

(Syarh Shahih Al-Bukhari karya Ibnu Batthool 4/327)

Dan dalam shahih Muslim dari hadits Ibnu Umar dan Jabir bin Abdillah ternyata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tetap saja melakukan roml pada tiga putaran thowaf yang pertama dalam haji wada’ beliau, padahal ketika itu tidak ada lagi kaum musyrikin.

عن جابر بن عبد الله – رضى الله عنهما – أنه قال رأيت رسول الله -صلى الله عليه وسلم- رمل من الحجر الأسود حتى انتهى إليه ثلاثة أطواف

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu bahwasanya beliau berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan roml dari hajar aswad hingga hajar aswad sebanyak tiga putaran” (HR Muslim no 3112)

أن ابن عمر رمل من الحجر إلى الحجر وذكر أن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- فعله.

Bahwasanya Ibnu Umar melakukan roml dari hajar aswad hingga hajr aswad, dan Ibnu Umar menyebutkan bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya” (HR Muslim no 3111)

(lihat penjelasan An-Nawawi dalam kitabnya Al-Majmuu’ 8/42)

 
Kelima : Diantara hikmah turunnya jilbab yang Allah sebutkan dalam ayat adalah agar para wanita yang berjilbab tidak diganggu. Allah berfirman :

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Hai Nabi, Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka  mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-Ahzaab : 59)

Gangguan akan terjadi bagi seorang wanita merdeka jika ia bertabarruj dan tidak berjilbab, apakah budak wanita ada ataupun tidak ada. Allah tidak menghendaki para wanita merdeka bertabarruj karena bisa menimbulkan fitnah.

Saya rasa meskipun Bpk Qurais Shihab tidak memandang jilbab itu wajib akan tetapi beliau tetap memandang jilbab itu baik. Lantas jika ada sekumpulan wanita berjilbab -dengan jilbab yang sesuai syar’i, yaitu tidak ketat dan menutupi aurot- kemudian di antara sekian wanita berjilbab tersebut ada putri Bpk yaitu Najwa Shihab yang berpenampilan seperti biasanya dan menawan maka tentu putri bapaklah yang akan menjadi sorotan para lelaki. Nah kalau ada lelaki yang jahat, maka yang akan menjadi bahan untuk digoda adalah putri bapak yang terbuka aurotnya !!

Bukankah jika di zaman Nabi banyak orang munafiq dan banyak orang fasik, maka apakah di zaman sekarang sudah tidak ada?, tentunya lebih banyak lagi orang fasik dan munafik di zaman sekarang !

Jika sudah tidak ada budak wanita, akan tetapi bukankah masih banyak wanita fasik dan wanita pezina di zaman sekarang ini yang suka untuk digoda para lelaki?

Bukankah lebih masuk akal jika kita berkata bahwasanya ‘illah diwajibkan jilbab masih terus berlaku karena untuk membedakan wanita sholehah yang tidak suka diganggu dengan wanita fasiqoh (yang biasanya tidak memakai jilbab dan berhias) yang suka untuk diganggu?

Bukankah secara kenyataan para lelaki fasiq dan munafik segan untuk menggoda wanita yang berjilbab syar’i, tetapi begitu semangat menggoda wanita yang terbuka aurotnya?

 
Keenam : Sebenarnya ada pertanyaan dalam diri saya, sebenarnya menurut pak Quraish Shihab batasan aurat wanita itu apa?. Jika semua dalil yang menjelaskan tentang aurot dianggap tidak qoth’i lantas menurut bapak Quraish batasan aurot wanita yang qoth’i yang mana?

Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 12-11-1435 H / 7 September 2014 M
Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja
www.firanda.com

Logo

Artikel asli: https://firanda.com/1225-bpk-qurais-shihab-hanya-mengekor-jilbab-tidak-wajib-bag-2.html